Memangkas 300 Tahun Kinipan


31 Agustus 2021

 

 

Memangkas 300 Tahun Kinipan

 

Nisrina Atikah Firdaus

 

Siang hari itu tepat menginjak pukul 2 lewat 11, selesailah ia dengan urusannya di telepon. Niat hati ingin bersantai damai di teras rumah panggungnya. Namun, rombongan mobil tengah melintas di depan jalan. Nampaknya ada 7 buah. Ia kira ada itikad baik yang datang sebab mobil tersebut berhenti di depan rumahnya. Tanpa aksi menyerobot orang-orang berpakaian macam lintah darat bercampuran preman mendatangi rumahnya. Diikuti oleh pasukan mengantongi laras panjang dan berpelindung tubuh lengkap. Pria ini sebut saja alamat tidak tahu nama apa yang pas untuk segerombolan orang asing ini.

 

Awalnya ia masih tenang, karena tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Mungkin niat bertamu. Salah satunya yang berbadan kekar–yang dimana mereka semua sama, memperlihatkan surat bertuliskan “Surat Penangkapan”. Sudah pasti setelah orang yang disebut sebagai polisi ini memastikan pria yang ia tanyai adalah Effendi Buhing. Dipihak Effendi sendiri ia tidak pernah merasa dipanggil atau melakukan kejahatan apa pun. Maka, ia meminta dengan kepala dingin, ia akan ikut jika ia didampingi oleh pengacaranya.

 

Namun, orang-orang bersenjata lengkap ini mengartikan hak Effendi sebagai tindakan tidak kooperatif. Mereka pun dengan singgap menyeret paksa tubuh kecilnya disertai teriakan istri dan ponakannya yang tidak terima. Tidak benarnya dua orang yang menyeretnya semacam ia adalah seorang teroris. Belum lagi istrinya yang sudah histeris dan mencoba sekuat tenaga mencegah petugas. Padahal wanita itu pun masih kalut dan bingung. Kaki-kaki yang bahkan tidak beralas itu, terseok-seok mencoba memperlambat gerak dua orang yang menarik suaminya.

 

Alangkah malangnya Effendi yang juga tak beralas kaki dipaksa masuk ke dalam salah satu mobil. Ketika mobil sudah terisi dirinya, roda dengan cepat meninggalkan lokasi beserta jeritan istrinya. Di dalam mobil terasa senyap dan sepi. Sebab Effendi pun tidak pernah diajak bicara, seperti tenang sebelum badai. Belum lama setelah itu suara tawa memecah suasana. Tak lantas membuat Effendi juga ikut tertawa.

 

Mereka tengah mentertawakan video aksi penangkapannya yang dikata sangat dramatis itu. Anggap sajalah dokumentasi itu adalah laporan mereka, seperti polisi kebanyakan. Katanya, ia akan diantar menuju Polda Kalimantan Tengah. Ia pun tahu bahwa perjalanan ini akan memakan waktu yang cukup lama.

 

Tak seperti yang ia bayangkan, ternyata ia hanya diturunkan tepat di Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Selama berjam-jam bernegosiasi, Effendi mengiyakan ajakan polisi untuk membuat pernyataan. Keesokan harinya, Effendi bebas dan mengatakan kepada media bahwa penangkapannya hanya sekedar miskomunikasi dan para polisi tidak mencelakainya. Nyatanya pada saat itu ia hanya ingin cepat bebas.

 

Saat dinyatakan bebas pun, Effendi masih merasakan sakit hati bagaimana ia dituding dengan tuduhan yang tidak jelas dan dikriminalisasi. Tuduhan yang dilayangkan pun berupa pencurian mesin pemotong milik perusahaan PT. Sawit Mandiri Lestari. Berbeda dengan fakta bahwa mesin itu ditahan sebagai bentuk protes warga Kinipan yang tidak mau hutannya dibuka untuk perkebunan sawit.

 

Saat itu juga para pengikut atau kawan-kawan karib Effendi tengah menjaga hutan agar pembukaan lahan tidak menyentuh hutan mereka. Kelompok mereka disebut Komunitas Adat Laman Kinipan. Konflik ini sudah terjadi sejak 2018, hingga sekarang belum ada penyelesaian. Meski Effendi telah dikriminalisasi pada Rabu, 26 Agustus 2020, belum juga menemukan titik terang. Perbedaanya hanya dari frekuensi tersorotnya masalah ini hingga viral.

 

Effendi yang dituding mencuri pun menggertakan giginya. Orang-orang dari perusahaan tersebutlah yang mengambil paksa hutan adat-nya dan kayu-kayunya. Effendi beserta kawanannya sudah jenuh melarang pegawai perusahaan tersebut. Sebab, orang-orang picik itu menunggu mereka yang berjaga pulang lalu bekerja. Belum lagi masalah ganti rugi yang berdasarkan hukum adat belum dilakukan orang perusahaan. Mereka tanpa musyawarah merampas hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Beberapa pihak pun angkat suara dengan menyuruh tokoh adat tersebut melakukannya dengan cara Dayak, yaitu kayau.

 

Kayau sendiri tradisi penggal kepala yang sudah ditinggalkan dan diganti dengan kepala hewan. Hanya saja makhluk bernama pengusaha ini jenis yang bisa melakukan fragmentasi atau dapat membelah diri. Spesies ini walaupun di “penggal” tidak akan mati malah solid menjadi individu lain. Semakin banyak, karena dasarnya fragmentasi adalah reproduksi vegetatif.

 

Hanya dengan surat perizinan yang transparansinya tidak jelas. Ditambah dengan judul surat legal formal telah terbit. Masyarakat yang tidak tahu menahu merasa bahwa telah dikhianati oleh orang-orang ber-kursi. Termasuk kelompok Effendi yang menjadi tokoh adat meski tidak memiliki banyak kekuasaan. Pria berdarah Dayak ini pun mencoba bertahan disamping bagaimana cuap-cuap dan usahanya belum ada yang merespon. Keterlibatan pemerintah setempat juga membuat Effendi merasa mereka semua mengada-ada.

Bupati Lamandau sendiri tidak mengakui adanya hutan adat. Membuat goresan besar pada benak Effendi betapa kuatnya yang mereka lawan. Namun, perjuangan tak boleh surut sedetik pun. Di tambah bagaimana perusahaan tersebut turun tangan dengan menyebarkan fakta klise. Berita tersebut ialah yang sudah-sudah, yakni berjasa dalam memperluas lapangan kerja. Serta membantu orang miskin yang ibaratnya hanya senjata untuk menutup mulut-mulut orang sejenis Effendi.

 

Sudah tampak nyata bahwa Effendi gagah tak mau bungkam. Pengecut bukanlah gayanya. Karena ekosistem dan hutan adat adalah harta yang tidak ternilai. Teman seperkawanannya sudah memanfaatkan hutan secara luhur tradisional, secukupnya, dan berusaha tak menyakiti sang paru-paru alam. Ia pikir akan ada dimana ketika pohon terakhir punah disitulah uang tak bisa dimakan. Harapannya pun tak kelewat, hanya menginginkan klaim hutan adat Kinipan diakui pemerintah.

 

“Jikalau katak hilang, ikan hilang, pohon hilang, musnahlah uang.” Semua jenis kebutuhan pokok yang bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan hari ini, seperti katak hutan yang dikonsumsi pun mulai mengalami kepunahan. Padahal perlu ditekankan bahwa mereka tidak pernah melakukan perusakan hutan fatal.

 

Apalah pengaruh hutan seluas 16.232 hektare ini bagi pengusaha yang sudah membabat pokok tanaman untuk menimbun kekayaan. Takkan bisa menyaingi bagaimana terdampak langsungnya orang seperti dirinya. Wajah dan figure dari pemilik asli perushaan pun tak pernah unjuk gigi di lapangan. Mereka seperti pemain cadangan yang selalu muncul belakangan. Muncul pun hanya ketika kabar baik, kabar buruk tak pernah wujudnya terpancar. Seperti saat banjir setinggi atap rumah atau sepunggung orang dewasa melanda kampungnya. Pemilik perusahaan tak adalah bersungkan hati untuk merespon.

 

Pria itu pun bersiasat untuk melindungi hutannya dengan caranya sendiri. Bersama komunitas kecilnya setiap hari sambil memanggul lanjung di punggung, mereka menjaga kawasan hutan dengan membangun pos-pos jaga seadanya. Tiada hari pula tanpa drama pengusiran para penebang kayu dari perusahaan dengan kata “lestari” itu. Bahkan Effendi sendiri merasa sumber makanan dari dalam hutan sudah tak sudi membubuhi para penduduk disana.

 

Hingga bersinggungan pun kerap terjadi, tetapi ibarat makan sehari-hari ini menjadi rutinitas berulang. Para penguasa itu hanya diam dan melakukan hal yang sama berulang kali. Meski tahu yang mereka lawan adalah masyarakat lokal. Sekali lagi, Effendi menekankan bagaimana banyaknya kerugian yang mereka alami tidak pernah berdampak langsung pada pelaku utama penebangan hutan. Justru efek buruk lantas menyerang orang-orang yang memperlakukan hutan dengan sedemikian rupa. Jika ini terus terjadi apalagi yang akan dibuat oleh orang yang berduit ini. Langkah mereka tak menunjukkan adanya kegentaran untuk mengambil langkah mundur.

 

Jika perluasan lahan sawit sendiri tidak ada guna bagi masyarakat, malah mengancam hutan adat yang jelas dipelihara oleh masyarakat sekitar. Setidaknya pemerintah tahu cara mengambil langkah tepat, yakni mencabut perizinan yang bahkan sekarang masih menjadi misteri kenapa hadir diantara permasalahan. Effendi ingat dengan jelas bahwa warganya bersama-sama menolak investasi tersebut dengan keras. Lalu oknum entah dari mana bisa memperoleh surat perizinan, muaklah dia dengan segala urusan hitam di atas putih ini. Betapa kuatnya kata-kata hanya dengan berupa tanda tangan orang berkuasa persoalan pun tinggal cing-cong. Maka ia pun mencoba mengukir namanya pada pohon-pohon yang di tanam oleh leluhurnya. Tulisan huruf EB yang diukir apik di atas kulit pohon menggunakan mandau, sebagai “surat perizinan” versinya. Penampakanya pun tambah miris dengan sebuah tunggul pohon tua berdiameter kurang lebih 56cm yang hampir berumur 300 tahun. Toh kertas juga dibuat dari pohon, apa bedanya dengan ia mengklaim menggunakan ukiran. Sama-sama di atas “pohon” kan? Walau warnanya mungkin bukan hitam maupun putih.

 

 

 


Sumber : SMA Negeri 1 Sampit www.sman1sampit.sch.id
Selengkapnya : www.sman1sampit.sch.id/artikel/601/Memangkas-300-Tahun-Kinipan.html